Showing posts with label astronomi. Show all posts
Showing posts with label astronomi. Show all posts

Ledakan Spektakuler di Galaksi

0


Peristiwa ledakan gunung api spektakuler berhasil difoto oleh teleskop milik NASA. Ledakan itu mencegah pembentukan ratusan juta bintang baru.
Gambar ledakan ini tertangkap kamera agen luar angkasa Chandra X-Ray Observatory dan Very Large Array milik National Science Foundation.
Astronom mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi karena ledakan yang tiba-tiba terjadi di antara lubang hitam raksasa dan pendinginan gas.
Ledakan tersebut dihasilkan melalui galaksi raksasa M87 yang berada lebih dari 50 juta tahun cahaya. Satu tahun cahaya setara dengan 5,9 triliun mil.
Ilmuwan mengatakan bahwa lubang hitam yang menjadi sumber daya gunung api galaksi ini sekaligus mencegah pembentukan ratusan juta bintang baru.
Tetapi ledakan itu hanya peristiwa biasa. Ketika proses pembentukan bintang di galaksi di mana gas sangat panas mulai mendingin, maka ledakan akan muncul di sela-sela proses tersebut.
NASA mengatakan bahwa letusan kosmik ini sangat mirip dengan kejadian gunung berapi Eyjafjallajokull di Islandia. Kejadian tersebut telah melemparkan abu dan asap ke atmosfer sekaligus menyebabkan kekacauan industri penerbangan.
“Pada saat peristiwa Eyjafjallajokull, gas panas telah menyebar di permukaan lava dan menghasilkan gelombang kejut yang dapat dilihat melalui asap abu-abu gunung berapi," kata juru bicara NASA.
“Ini sama seperti gas vulkanik panas yang terus naik ke awan abu gelap. Seperti gunung api di bumi, gelombang kejut dapat dilihat dari tekanan lubang hitam di galaksi yang telah menarik partikel gas kluster,” ujarnya lagi

Galaksi Bimasakti Terancam Ditabrak Awan Raksasa

0

http://www.apakabardunia.com/wp-content/uploads/2008/12/68221.jpg 

Gumpalan awan raksasa yang mengandung gas
hidrogen dalam volume sangat besar tengah melesat mendekati piringan Galaksi
Bima Sakti, tempat tata surya kita berada. Tabrakan dahsyat yang diperkirakan
terjadi antara 20-40 juta tahun lagi akan menghasilkan kembang api spektakuler
di langit. Objek tersebut diberi nama Awan Smith, diambil dari nama Gail Smith,
seorang astronom AS yang mendeteksinya pertama kali pada tahun 1963 saat
meneliti di Universitas Leiden, Belanda.
Sejak ditemukan, para astronom masih berdebat apakah awan tersebut benar-benar
mendekati galaksi Bimasakti atau menjauhinya. Rekaman data yang ada selama ini
masih terbatas dan tidak jelas apakah objek tersebut bagian dari kabut
Bimasakti atau masih bergerak ke arahnya. Sejauh ini, para peneliti hanya
mendeteksi gas dan tidak ada satupun bintang di dalamnya. Satu-satunya cara
melihtanya adlah dengan teleskop radio karena gas dingin tidak memancarkan
cahaya, tetapi memantulkan gelombang radio.

Jika dilihat dari Bumi, lebar gumpalan awan
tersebut sebanding dengan 30 kali lebar Bulan. Dari kepala ke ujung ekornya
cukup untuk menyelimuti rasi bintang Orion. Hasil pengamatan baru menggunakan
teleskop radio terkendali paling besar di dunia, Teleskop Green Bank (GBT) di
Virginia Barat, AS,
menunjukkan bahwa objek tersebut bergerak ke arah galaksi Bimasakti. Bahkan,
seperti dilaporkan gabungan tim astronom dari Observatorium Astronomi Radio
Nasional AS (NRAO) dan Universitas Winconsin Whitewater dalam pertemuan
Masyarakat Astronomi Amerika ke-211 di Austin, Texas
baru-baru ini, gaya dorongnya telah
menyentuh kabut Bimasakti. "Jika tabrakan terjadi, hal tersebut akan
memicu lahirnya formasi bintang-bintang baru. Akan banyak bintang raksasa yang
terbentuk, berumur pendek, dan meledak sebagai supernova yang memancarkan
cahaya menyilaukan," ujar Ketua tim peneliti, DR. Felix Lockman, dari
NRAO. Sebab, Awan Smith membawa energi sangat besar berupa gas hidrogen yang
cukup untuk membentuk jutaan bintang seukuran Matahari. Awan Smith merupakan
gumpalan gas yang berukuran panjang mencapai 11.000 tahun cahaya dan lebar
2.500 tahun cahaya. Objek tersebut saat ini berada 40.000 tahun cahaya dari
Bumi dan 8.000 tahun cahaya dari piringan Bimasakti.

Objek yang pantas disebut kabut monster di ruang
kosmos ini bergerak dengan kecepatan 240 kilometer perdetik dan diperkirakan
menabrak piringan galaksi Bimasakti dengan kemiringan 45 derajat. Tabrakan akan
terjadi di pinggir piringan Bimasakti yang jarak ke pusatnya hampir sama dengan
jarak tata surya kita ke pusat galaksi. Namun, posisinya jauh dari tata surya
kita, diperkirakan berjarak 90 derajat terhadap pusat piringan. "Kami
tidak tahu dari mana asalnya, apalagi orbitnya membingungkan, namun kami
katakan bahwa ia mulai berinteraksi dengan bagian terluar Bimasakti,"
tandas Lockman.

Teori Pembentukan Tata Surya s.d 1960

0

Tahun 1944 hadir sebuah teori baru yang merupakan bentuk lain dari teori dualistik. Teori ini diajukan oleh Otto Schmidt (1892-1956), seorang peneliti Rusia, yang dalam pengamatannya melihat keberadaan awan yang dingin dan rapat di Galaksi, terungkap saat ada bintang yang lewat daerah tersebut cahayanya diblok oleh awan. Menurut Schmidt dari waktu ke waktu bintang akan melewati awan seperti ini, dan setelah lewat bintang akan diselubungi gas dan debu. Dari awan inilah planet akan terbentuk.
http://dhebettha.files.wordpress.com/2010/06/nebula.jpg
Ketika dua titik massa saling mendekati dan mengalami interaksi gravitasi namun tidak bertabrakan, keduanya akan berakhir pada jarak yang tidak tentu. Schmidt mengasumsikan dua titik massa itu untuk bintang dan awan dan ia mempostulatkan keberadaan objek ketiga disuatu tempat disekitar alur pertemuan bintang dan awan untuk menghilangkan sebagian energi dari sistem dua benda tersebut. yang menjadi masalah keberadaan benda ketiga justru membuat ide ini menjadi tidak mungkin.
Teori Pusaran von Weizsäker
Tahun 1944, Carl von Weizsäker (1912-) meninjau kembali model proto planet, dan memperkenalkan model baru dengan pola piringan yang mengalami turbulensi hingga terbentuk pusaran-pusaran kecil. Dalam sistem terdapat beberapa pusaran. Setiap pusaran berotasi searah jarum jam sementara keseluruhan sistem berotasi berlawanan jarum jam sehingga menyebabkan tiap elemen piringan bergerak mengitari pusat massa dalam orbit Keplerian. Akibatnya terjadi disipasi energi yang kecil karena pergerakan seluruh sistem. Tapi materi akan mengalami tabrakan pada kecepatan relatif yang tinggi pada batas vortices. Model von Weizsäker menyatakan, pada kondisi seperti ini akan terbentuk pusaran-pusaran kecil dan materi akan berinteraksi dengan kuat, membentuk kelompok dan mengalami kondensasi. Kondensasi terbentuk dalam cincin dan saat semua kondensasi di cincin telah berada dalam cincin, maka akan membentuk keluarga planet.
Tahun 1952, Jeffreys mengkritik bahwa turbulensi merupakan fenomena yang berhubungan dengan kondisi kekacauan dan tidak terjadi secara spontan hingga menghasilkan struktur yang diajukan oleh model von Weizsäker. Hasil yang biasanya didapat dari piringan yang mengalami turbulensi adalah rotasi sistem dan semua bagian didalamnya dalam orbit sirkular mengeliligi pusat massa. Sedangkan viskositas sistem akan membuat materi bergerak kedalam dan keluar (inwards dan outwards). Pada pola evolusi seperti ini, viskositas akan menyebabkan terjadinya kehilangan energi dan menyisakan sistem berenergi lemah. Sementara disisi lain model pusaran (vortices) von Weizsäker merupakan sistem berenergi tinggi yang tidak akan stabil sehingga tidak akan bisa membentuk apapun.
Sampai dengan tahun 1960, ada dua kelompok yang terbagi berdasarkan teori yang dianut. Yang pertama, teori monistik terdiri dari teori Laplace bersama dengan pendahulunya Descartes dan Kant serta model von Weizsäker. Yang kedua, teori dualistik yang dianut oleh Buffon, Chamberlin dan Moulton, Jeans, Jeffrey dan Schmidt. Setiap teori memiliki keberhasilan dalam memecahkan masalah yang ada namun masing-masing juga memiliki kelemahan.
http://fascinatingly.com/wp-content/gallery/hd-nebula-wallpaper/AngelNebula-hd.jpg
Problema Distribusi Momentum Sudut
Teori-teori monistik tidak bisa memecahkan bagaimana nebula tunggal bisa berevolusi secara spontan dan menghasilkan momentum sudut dengan fraksi yang yang kecil dari materi. Salah satu yang mencoba memecahkan masalah ini adalah Roche dengan mempostulatkan nebula yang terkondensasi tinggi. Sementara pendekatan lain mempostulatkan piringan yang tidak terlalu terpusat namun memiliki kerapatan yang cukup sehingga memiliki fraksi massa nebula sekitar 10-50% massa matahari. Dan bagian terbesar piringan akan terlepas memebntuk planet.
Teori-teori dualistik, yang melibatkan interaksi dua bintang mencoba menghindari masalah spin matahari yang lambat dengan mengasumsikan matahari pada kondisi pre-existence. Sayangnya tidak ada mekanisme yang baik untuk memindahkan materi ke jarak tertentu dari Matahari atau dengan kata lain tidak bisa memberikan momentum sudut yang cukup. Belakangan, teori akresi bisa memecahkan masalah momentum sudut ini dengan mengajukan penangkapan materi dalam kondisi tersebar dan bisa menghasilkan momentum sudut yang pas untuk menjelaskan gerak planet saat penanangkapan.
Pembentukan Planet
Schmidt dan teori monistik lainnya memulai sebuah permulaan yang baik dengan menyatakan pembentukan planet berasal dari materi di piringan. Permasalahannya bagaimana mekanisme materi-materi itu terakumulasi sehingga membentuk planet. Teori yang diajukan adalah lewat kondensasi di piringan tersebut. Dan hasil kondensasi ini haruslah memenuhi kriteria massa Jeans, dan limit Roche.
sumber : The Origin and Evolution of the Solar System (M. M. Woolfson)

Air Terjauh di Galaksi Asing

0

Air ternyata tidak hanya dimiliki bumi. Komponen yang satu ini tersebar di alam semesta dalam berbagai bentuk, baik cair, padat, maupun gas. Pencarian air selalu menjadi hal yang menarik, karena air senantiasa diidentikkan dengan kehidupan. Nun jauh di salah satu sudut alam semesta, para astronom berhasil menemukan air terjauh yang pernah terlihat. Air tersebut berada di sebuah galaksi yang jaraknya lebih dari 11 milyar tahun cahaya dari Bumi. Sebelumnya, air paling jauh yang berhasil ditemukan berada di galaksi yang berjarak 7 milyar tahun cahaya dari Bumi.
Jejak gelombang radio yang menunjukkan keberadaan air di galaksi jauh. Kredit: Milde Science Communication, STScI, CFHT, J.-C. Cuillandre, Coelum. Click on image for details and more graphics.
Tanda keberadaan air berhasil ditemukan menggunakan teleskop radio raksasa berdiameter 100 meter di Effelsberg, Jerman, dan Very Large Array milik National Science Foundation di New Mexico.
Galaksi berair yang dikenal dengan nama MG J0414+0534, memiliki quasar — lubang hitam supermasif yang memancarkan cahaya yang sangat terang — di intinya. Pada area di dekat inti, molekul air bertindak sebagai maser (Microwave Amplification by Stimulation Emission of Radiation) yang sama kuat dengan laser, dan menguatkan gelombang radio pada frekuensi tertentu. Penemuan ini mengindikasikan keberadaan maser air raksasa lebih umum terdapat pada saat alam semesta dini dibanding sekarang. Pengamatan yang dilakukan sekarang berhasil melihat kondisi MG J0414+0534 saat alam semesta masih berusia 1/6 dari usia saat ini.
Pada galaksi yang jaraknya sangat jauh, bahkan penguatan gelombang radio terkuat yang dlakukan oleh maser tidak cukup kuat untuk bisa dideteksi teleskop radio. Namun, para ilmuwan justru mendapat bantuan dari alam dalam bentuk galaksi lain yang berjarak hampir 8 milyar tahun cahaya serta berada di garis pengamatan MG J0414+0534 dan Bumi. Gravitasi galaksi tersebut bertindak sebagai lensa yang membuat galaksi jauh lebih terang dan pancaran molekul air jadi tampak oleh teleskop radio.
Sinyal keberadaan air di jarak yang sangat jauh ini bisa diketahui dengan bantuan lensa gravitasi. Teleskop kosmik tersebut mereduksi waktu yang dibutuhkan untuk dapat mendeteksi air dalam faktor sekitar 1000.
Sinyal air pertama kali dideteksi oleh teleskop Effelsberg dan kemudian digunakan VLA untuk mempertajam kemampuan pencitraan yang bisa mengkonfirmasi asal galaksinya. Keberadaan lensa gravitasi memberikan 4 citra MG J0414+0534 yang terlihat dari Bumi. Dengan VLA, para peneliti bisa menemukan gelombang radio yang spesifik menyatakan keberadaan air pada 2 citra terang yang dihasilkan. Dua citra lainnya terlampau lemah untuk bisa dideteksi keberadaan sinyal airnya. Frekuensi yang dipancarkan molekul air merupakan pergeseran Doppler akibat pengembangan alam semesta dari 2,2 GHx – 6,1 GHz.
Air yang bertindak sebagai maser sudah ditemukan pada sejumlah galaksi yang jaraknya dekat. Biasanya, air diperkirakan berada dalam piringan molekul yang mengorbit lubang hitam supermasif pada jarak yang sangat dekat di inti galaksi. Pancaran gelombang radio yang mengalami penguatan biasanya akan teramati saat piringan tampak dari samping dan terlihat tepiannya. Namun, ternyata orientasi galaksi MG J0414+0534 saling berhadapan dengan Bumi. Dengan demikian, molekul air yang kita lihat dalam maser bukan di dalam piringan melainkan dalam materi yang terlontar sebagai akibat lontaran gravitasi lubang hitam yang diorbitnya. Materi yang terlontar tersebut bergerak dalam jet super cepat.
Sumber : NRAO

Ruang Angkasa Jurassic, Ketika Galaksi Kuno Ditemukan

0

Pernahkah kamu membayangkan menemukan dinosaurus di halaman belakang rumahmu? Inilah yang dialami para astronom. Mereka menemukan sebuah kehidupan masa prasejarah di halaman belakang aka disekitar ruang antar galaktik.
Yang dilihat para astronom ini adalah sekelompok galaksi kuno kecil yang telah menungu selama 10 milyar tahun untuk bersatu. Galaksi yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan tersebut tengah berada pada tahap membentuk galaksi elips yag besar.
Galaksi-galaksi kuno yang tengah berinteraksi. Kredit : Hubble/NASA
Sebenarnya pertemuan antar galaksi katai bukanlah hal yang aneh. kejadian ini umum terjadi dan secara normal bisa dilihat pada jarak milyaran tahun cahaya, yang juga menandakan kejadian pertemuan dan penggabungan itu terjadi milyaran tahun yang lalu. Yang menarik, galaksi yang merupakan anggota keluarga Hickson Compact Group 31, berada cukup dekat hanya 166 juta tahun cahaya. Komposisi dalam citra Hickson Compact Group 31 yang diambil Hubble terdapat 4 galaksi yang sedang berinteraksi.
Citra yang ditangkap Hubble ini sekaligus menjadi jendela informasi apa yang terjadi di masa lalu kala galaksi-galaksi besar terbentuk dari kelompok yang lebih kecil.
Interaksi Antar Galaksi
Selama beberapa dekade, para astronom telah mengetahui bahwa galaksi katai mengalami tarik menarik satu sama lainnya. Bentuk spiralnya yang klasik pada akhirnya mengalami tarikan dan mendorong keluar aliran panjang gas dan debu. Obyek paling terang yang ada dalam citra Hubble merupakan 2 galaksi katai yang sedang bertabrakan. Keseluruhan sistem tersebut bersinar terang oleh badai api bintang yang lahir. Badai api tersebut dipicu oleh gas hidrogen yang mampat sebagai akibat pertemuan pada jarak terdekat di antara galaksi, sehingga akhirnya runtuh membentuk bintang baru.
Informasi yang dapat diungkap dari hasil pengamatan Hubble menjadi sangat penting, karena disinilah petunjuk akan kisah interaksi kelompok galaksi. Kisah yang membawa para astronom untuk dapat menentukan kapan pertemuan akan dimulai serta bisa memprediksikan penggabungan yang akan terjadi di masa depan.
Sebenarnya para astronom sudah mengetahui keberadaan sistem ini beberapa waktu lalu karena bintang tertua pada beberapa gugus bola berusia 10 milyar tahun. Sebagian besar galaksi katai berinteraksi milyaran tahun lalu. Namun galaksi-galaksi tersebut baru mulai bersama untuk pertama kalinya. Dan kejadiannya pun belum lama, sekitar beberapa ratus juta tahun. Hanya sekejap mata dalam sejarah kosmik.
Kumpulan Bayi Bintang
Dalam kelompok yang padat ini, kemanapun para astronom melayangkan pandangan untuk mengamati, mereka justru menemukan kumpulan gugus bintang yang masih bayi serta area yang diisi dengan kelahiran bintang.
Teleskop Hubble mengungkapkan pada gugus yang paling terang, setiap kelompok memiliki setidaknya 100000 bintang, dan usianya kurang dari 10 juta tahun. Keseluruhan sistem kaya dengan gas hidrogen, materi yang membentuk bintang. Dengan menggunakan Hubble’s Advanced Camera for Surveys, para astronom berhasil mengungkap keberadaan gugus yang paling terang dan muda sehingga bisa dihitung usianya, sejarah jejak pembentukannya serta bisa menentukan kalau galaksi tersebut sedang berada dalam tahap akhir pembentukan galaksi yang lebih besar.
Keempat galaksi yang sedang berinteraksi tersebut termasuk berukuran kecil jika dibandingkan Awan Magellan Besar, satelit dari Bima Sakti. Kecepatannya terhadap satu sama lainnya diperkirakan cukup lambat hanya sekitar 60 km/detik. Jarak keempat galaksi tersebut juga relatif dekat hanya 75000 tahun cahaya satu sama lainnya, bahkan keempatnya cukup jika dimasukkan dalam galaksi Bima Sakti.
Tapi mengapa sistem ini butuh waktu lama untuk saling berinteraksi? Diperkirakan hal ini disebabkan keempat galaksi tersebut berada pada area dengan kerapatan rendah di alam semesta, atau bisa dikatakan di area pedesaan. Akibatnya untuk bisa bersama, dibutuhkan waktu yang lebih lama dibanding galaksi di area yang lebih rapat.
Sumber : Hubblesite

Massa Minimum Galaksi Jadi Titik Terang Mengenal Materi Kelam

0

Analisis cahaya dari sebuah galaksi redup yang mengorbit Bima Sakti, para peneliti dari UC Irvine berhasil menemukan massa minimum galaksi di alam semesta yakni hanya 10 juta kali massa Matahari. Massa sekecil ini diperkirakan merupakan komponen terkecil dari “komponen penyusun” materi misterius dan tak terlihat di alam semesta, yang kita kenal sebagai dark matter atau materi kelam. Bintang yang terbentuk dalam komponen penyusun tersebut akan berkumpul bersama dan kemudian menjadi galaksi.
Satelit galaksi pada jarak 500000 tahun cahaya dari Bima Sakti yang diteliti para peneliti dari UCI untuk memahami materi kelam. Kredit gambar : UCI
Sampai saat ini para peneliti hanya mengetahui sedikit informasi dari komponen mikroskopik materi kelam, meskipun materi tersebut dipkerkirakan sebanyak 5/6 dari seluruh materi di alam semesta.
Dengan mengetahui massa minimum galaksi, maka sifat-sifat materi kelam akan dapat diketahui. Hal ini esensial dalam mempelajari bagaimana alam semesta dan kehidupan jadi seperti saat ini. Materi kelam dalam keberadaannya ikut mengendalikan pertumbuhan struktur alam semesta. Tanpa materi kelam, galaksi seperti Bima Sakti tak akan pernah ada. Gravitasi dari materi kelam inilah yang menarik materi normal dan menyebabkan terbentuknya galaksi. Diduga, galaksi kecil yang ada di alam semesta juga mengalami penyatuan sepanjang waktu dan membentuk galaksi seperti Bima Sakti.
Galaksi terkecil yang diketahui atau yang sering disebut galaksi katai, memiliki kecerlangan yang besar dari 1000 kali luminositas Matahari sampai dengan 10 juta luminositas Matahari. Setidaknya ada 22 dari galaksi katai yang diketahui mengorbit Bima Sakti. Para peneliti di UCI mempelejari 18 di antaranya menggunakan data dari Teleskop Keck di Hawaii dan Teleskop Magellan di Chile. Tujuan penelitian ini untuk menghitung massa galaksi katai tersebut. Analisa cahaya bintang di tiap galaksi memberikan informasi kecepatan gerak bintang dan dari kecepatan tersebut bisa diketahui massa galaksi.
Pada awalnya diharapkan galaksi yang diteliti memiliki variasi massa dengan galaksi paling terang memiliki massa terbesar dan galaksi redup merupakan galaksi yang massanya kecil. Namun ternyata seluruh galaksi katai tersebut memiliki massa yang sama, 10 juta massa Matahari. Penemuan ini menggunakan analogi dimana manusia yang memainka peran di dalam materi kelam.
Bayangkan jika kita adalah alien yang sedang terbang melintasi BUmi dan mencoba mengidentifikasi area penduduk dari konsentrasi cahaya di malam hari. Tentunya dari terangnya cahaya, kita akan memberi sebuah kesimpulan awal kalo ternyata Los Angeles lebih banyak penghuninya dari Mumbai. Sayangnya, dalam kasus galaksi katai ini, yang ditemukan justru lebih ekstrim, dan memiliki kepadatan penduduk yang sama yakni sekitar 10 juta.
Karena galaksi katai sebagian besar berisi materi kelam, maka bisa dikatakan perbandingan materi kelam dengan materi normal hampir sebesar 10 000 : 1. Massa minimum yang ditemukan ini mengungkap sifat dasar dari materi kelam. Penemuan ini membantu para peneliti untuk memahami partikel yang membentuk materi kelam dan menmberikan informasi bagaimana galaksi terbentuk.
Menurut para peneliti, kumpulan materi kelam bisa saja tidak memiliki bintang di dalamnya. Dan yang bisa dideteksi sampai saat ini hanyalah materi kelam yang di dalamnya terdapat bintang.

Lubang Hitam Yang Bergerak Berlawanan Arah

0

Alam semesta menyimpan misteri yang sangat besar. Ini tak bisa dipungkiri. Bahkan walaupun hasil pengamatan telah membawa manusia pada pemahaman akan alam semesta, selalu saja ada sesuatu yang membawa manusia untuk melihat setiap kejadian di alam semesta itu unik dan bahkan mengejutkan.
Kali ini cerita itu datang dari lubang hitam. Ia seakan menantang pemahaman manusia dan membawa kita untuk melihat dari cara yang bertentangan dengan pemahaman konvensional. Hasil penelitian terbaru menunjukan kalau lubang hitam supermasif yang berputar berlawanan arah ternyata bisa menghasilkan jet gas yang sangat kuat dan ganas. Hasilnya, implikasi pada perubahan galaksi berdasarkan waktu akan dapat terjadi.
Apa yang terjadi di seluruh galaksi, tak bisa tidak sangat bergantung pada apa yang terjadi di area pusat yang kecil tempat lubang hitam berada.
Pergerakan Lubang Hitam
Lubang hitam supermasif dan jet atau semburan yang muncul. Kredit : NASA
Lubang hitam di alam semesta merupakan distorsi ruang dan waktu yang sangat besar dengan gravitasi yang juga demikian besar sehingga cahaya tak dapat lolos darinya. Selama lebih dari satu dekade, para astronom telah mengetahui bahwa semua galaksi termasuk Bima Sakti dihuni oleh lubang hitam supermasif yang bernilai milyaran massa Matahari. Lubang hitam  dikelilingi dan diberi makan oleh piringan gas dan debu yang dikenal sebagai piringan akresi. Dan terdapat aliran jet yang luar biasa kuat muncul dari bawah dan atas piringan seperti laser ada angin yang sangat kuat bertiup dari piringan itu sendiri.
Dalam pergerakannya, lubang hitam bisa bergerak searah dengan gerak piringan (lubang hitam prograde) atau berputar berlawanan arah putaran piringan yang dikenal sebagai lubang hitam retrograde. Selama beberapa dekade, para astronom meyakini semakin cepat putaran lubang hitam maka semakin kuat juga jet yang dihasilkannya. Namun ternyata ada masalah lain yakni model paradigma putaran. Dalam penelitian pada lubang hitam, ditemukan juga lubang hitam prograde yang tidak memiliki semburan aka jet tersebut.
David Garofalo dari NASA Jet Propulsion Laboratory di Pasadena, Calif dalam penelitian yang ia lakukan selama ini telah mencoba mengajukan model lain dari lubang hitam, yakni lubang hitam retrograde. Dalam penelitiannya si lubang hitam retrograde memiliki jet yang sangat kuat sedangkan lubang hitam prograde hanya memiliki jet yang lemah atau tak ada sama sekali.

Bukti Pengamatan

Teori yang diajukan Gorofalo hanya akan jadi teori jika tidak ada pengamatan yang menghubungkan keduanya. Untuk menghubungkan keduanya, pengamatan galaksi dilakukan pada jarak yag berbeda-beda dari Bumi. Pencarian dilakukan pada galaksi “radio yang keras” dan memiliki jet maupun galaksi “radio tenang” yang memiliki jet lemah atau tidak sama sekali. Istilah radio ini muncul karena jet yang muncul pada umumnya menembakan berkas cahaya dalam bentuk gelombang radio.
Hasilnya menunjukkan galaksi radio-keras yang berada lebih jauh ditenagai oleh lubang hitam retrograde sementara obyek radio-tenang yang relatif dekat justru berasal dari lubang hitam prograde. Menurut tim ini, lubang hitam supermasif berevolusi seiring waktu dari gerak retrograde ke gerak prograde. Dengan model yang baru ini, paradoks dari paradigma putaran yang ada bisa diselesaikan. Bahkan menurut David Meier dari JPL, “semua jadi sesuai dengan porsinya masing-masing”.
Lubang Hitam Retrograde
Lantas mengapa lubang hitam dengan putaran yang berlawanan arah memiliki jet yag lebih kuat?
Hal ini tampaknya disebabkan oleh ruang yang lebih besar yang ada antara lubang hitam dan tepi bagian dalam piringan yang sedang mengorbit. Celah yang ada memberi ruang yang lebih besar untuk membentuk medan magnetik yang merupakan bahan bakar dari jet. Ide ini dikenal sebagai konjektur Reynold.
Bayangkan saat kamu mendekati kipas angin lebih dekat. pada saat itu kam bergerak dengan arah rotasi yang sama dengan si kipas angin, tentunya semua akan jadi lebih mudah. Demikian juga dengan lubang hitam. Materi yang mengorbit lubang hitam dalam piringan akan bergerak mendekat ke benda yang bergerak pada arah yang sama dibanding jika obyek lainnya itu bergerak berlawanan arah.
Evolusi Galaksi
Jet atau semburan tiba-tiba dan angin peran penting dalam membentuk nasib galaksi di alam semesta. Beberapa penelitian menunjukkan jet bisa memperlambat bahkan mencegah pembentukan bintang bukan hanya dalam galaksi tempat terjadinya jet tapi juga pada galaksi lain di dekatnya.
Jet yang muncul mengangkut sejumlah besar energi ke piggiran galaksi, menggantikan sejumlah besar volume gas antar galaktik dan bertindak sebagai agen umpan balik antara pusat galaksi dan lingkungan dalam skala besar.
Untuk bisa memahami asal mula semua ini akan menjadi kepentingan dan ketertarikan yang amat tinggi dalam astrofisika modern di masa depan.
Sumber : NASA JPL

Kesabaran 16 Tahun Berbuah Monster di Jantung Bima Sakti

0

Setelah melakukan studi panjang selama 16 tahun menggunakan teleskop milik ESO, tim astronom dari Jerman berhasil memperlihatkan kondisi paling detil yang pernah ada dari area di sekitar jantung galaksi Bima Sakti – area dari monster menakutkan si lubang hitam supermasif.
Area pusat galaksi Bima Sakti. Kredit : ESO
Penelitian ini mengungkap rahasia yang tersimpan di area tersebut melalui pemetaan orbit 28 bintang. Bahkan satu bintang di antaranya telah berhasil melakukan putaran penuh mengelilingi lubang hitam.
Pengamatan gerak 28 bintang yang mengorbit area pusat galaksi Bima Sakti, menunjukan keberadaan lubang hitam supermasif yang tengah mengintip kita dari balik debu antar bintang. Ia dikenal sebagai Sagittarius A (atau dikenal sebagai bintang Sagittarius A). Berbagai informasi termasuk bentuk istimewa bintang-bintang tersebut dan juga lubang hitam yang mengikat mereka berhasil dikuak.
Pusat galaksi merupakan laboratorium yang unik dimana kita bisa belajar proses-proses dasar gravitasi yang besar dan kuat, serta dinamika dan pembentukan bintang yang memiliki keterkaitan yang sangat besar dengan inti galaksi. Disinilah pabrik kelahiran bintang dan tempat berlabuh sang monseter menakutkan, lubang hitam supermasif. DI area ini jugalah kita bisa mempelajari lubang hitam dengan lebih mendetil.
Tapi untuk mengamati area ini tidaklah mudah. Pengamatan dalam panjang gelombang tampak tidak dapat menembus blokade yang dibuat oleh debu antar bintang yang mengisi galaksi. Pandangan kita ke jantung sang galaksi ini terhalang. Kemampuan teknologi menjadi tantangan untuk dapat mengintip apa yang terjadi di sana. Untuk itu, digunakanlah panjang gelombang infra merah untuk menembus blokade debu antar bintang tersebut. Dan bintang-bintang di area pusat galaksi kemudian dijadikan partikel penguji untuk mengungkap apa yang ada di sana. Bintang-bintang itu diamati geraknya selama mengorbit Sagittarius A.
Hasil yang diperoleh sangat berguna untuk memahami lubang hitam itu sendiri contohnya dalam hal massa dan jarak. Dan tampaknya 95% massa yang mempengaruhi gerak bintang tersebut adalah lubang hitam. Karena itu, kecil kemungkinan penyebabnya adalah karena materi kelam lain. Tak pelak, hasil ini menjadi bukti empirik keberadaan lubang hitam supermasif, yang diperlihatkan oleh bintang yang megorbit pusat galaksi. Dalam pengamatan, diketahui adanya konsentrasi massa yang besar sekitar 4 juta massa Matahari yang diyakini sebagai lubang hitam yang berada pada jarak 27000 tahun cahaya.
Dari ke-28 bintang yang diamati, 6 di antaranya mengorbit lubang hitam dalam sebuah piringan dan bintang-bintang pada area paling dalam memiliki orbit acak. Bintang S2 menjadi satu-satunya bintang yang berhasil mengelilingi pusat Bima Sakti periode 16 tahun tersebut.
Untuk membangun citra jantung Bima Sakti dan menghitung orbit bintang individu, tim ini mempelajari bintang-bintang tersebut selama 16 tahun, dimulai pada tahun 1992 menggunakan kamera SHARP yang dipasang di New Technology Telescope 3,5 meter milik ESO di Observatorium La Silla, Chille. Observasi lainnya dibuat pada tahun 2002 dengan 2 instrumen yang ada di Very Large Telescope (VLT).
Walau penelitian ini berhasil membuka lembaran baru bagi pembelajaran lubang hitam dan kondisi area pusat galaksi dalam tingkat akurasi yang tinggi, namun masih banyak misteri yang belum terkuak di sana. Apalagi bintang-bintang tersebut juga masih sangat muda untuk melakukan perjalanan jauh. Diduga, bintang-bintang ini terbentuk pada orbitnya saat ini dibawah pengaruh gaya pasang surut lubang hitam.
Di masa depan, berbagai rancangan penelitian lanjutan akan dilakukan untuk mengintip monster di jantung Bima Sakti itu. Salah satunya dengan menggunakan teknologi dengan resolusi sudut yang lebih tinggi.
Sumber : ESO

Menguak Rahasia Cincin Gas di Leo

0

Menyingkap misteri di alam semesta memang tak kan pernah selesai. Namun setiap ada satu cerita yang terkuak, selalu saja ada cerita menarik di dalamnya. Kali ini tim peneliti internasional berhasil mengungkap asal muasal cincin gas raksasa yang ada di grup Leo.
Cincin di grup lokal Leo. kredit :CFHT/Astron - P.A. Duc
Grup Leo merupakan salah satu grup lokal yang berisi galaksi-galaksi, di antaranya adalah Bima Sakti. Grup galaksi lokal biasanya juga terdiri memiliki lebih dari 30 galaksi termasuk di dalamnya galaksi katai.
Gas Purba
Dengan menggunakan Canada-France-Hawaii Telescope, para peneliti berhasil mendeteksi tanda tangan optik cincin yang ternyata memiliki kaitan dengan area pembentukan bintang. Nah, pengamatan ini sekaligus juga mengesampingkan asal usul gas yang berasal dari galaksi. Dari hasil simulasi numerik, skenario pembentukan cincin bisa diketahui yakni dari tabrakan antar dua galaksi yang terjadi lebih dari 1 milyar tahun lalu.
Dalam teori pembentukan galaksi yang ada saat ini, akresi gas primordial merupakan proses kunci pada tahap awal pertumbuhan galaksi. Gas primordial aka gas purba memiliki 2 ciri utama yakni, gas purba tak pernah berdiam di galaksi manapun, dan ia juga tidak memenuhi kondisi yang dibutuhkan untuk membentuk bintang. Pertanyaannya apakah proses akresi seperti ini masih terjadi pada galaksi dekat?
Untuk menjawabnya dilakukan survei pada area langit yang cukup besar agar bisa mendeteksi gas primordial.
Cincin Raksasa di Leo
Cincin Leo, sebuah cincin raksasa yang terbentuk dari gas dingin dan membentang selebar 650000 tahun cahaya mengelilingi galaksi-galaksi yang ada di grup Leo. Cincin ini merupakan awan dan gas antar galaktik yang misterius sekaligus dramatik. Bahkan semenjak penemuannya di era 80-an, asal usul dan sifat-sifat alaminya masih saja diperdebatkan.
Akan tetapi, studi yang dilakukan pada kelimpahan logam di dalam gas justru menunjukkan kalau cincin tersebut ternyata terbentuk dari gas primordial. Untuk mempelajari gas yang ada disana, para peneliti menggunakan kamera MegaCam yang sangat sensitif yang dipasang pada Canada-France-Hawaii Telescope.
Berkat sensitivitas alat tersebut, mereka bisa mengamati rekan dan jejak optik lainnya dari area paling rapat di cincin dalam cahaya tampak bukannya gelombang radio. Cahaya yang dipancarkan oleh bintang muda masif mengarahkan pada fakta kalau cincin gas tersebut memiliki kemampuan untuk membentuk bintang.
Cincin gas dan bintang disekeliling galaksi juga memberi petunjuk keberadaan cincin yang lain. Sebuah cincin yang dikenal sebagai cincin hasil tabrakan, terbentuk saat dua buah galaksi saling bertabrakan. Contoh cincin tersebut bisa dilihat di galaksi Cartwheel. Nah, dengan penemuan cncin hasil tabrakan tersebut, apakah lantas cincin di Leo juga merupakan cincin yang berasal dari hasil tabrakan juga ?
Untuk mengetahui jawabannya, maka dilakukan simulasi numerik yang bisa memberi demonstrasi dan gambaran tentang sang cincin di Leo tersebut. Hasilnya, cincin ini memang berasal dari tabrakan raksasa dua galaksi lebih dari 38 juta tahun cahaya yang lalu. Pada saat terjadinya tabrakan, piringan gas salah satu galaksi tertiup ke luar dan kemudian membentuk cincin di luar galaksi. Hasil simulasi lanjut juga berhasil mengidentifikasi kedua galaksi yang bertabrakan itu yakni NGC 3384, salah satu galaksi ang berada di pusat grup Leo dan M96, galaksi spiral masif yang berada di batas luar grup. Dan tak hanya itu. Waktu tabrakannya pun berhasil diprediksi yakni lebih dari 1 milyar tahun lalu.
Yang pasti gas di Leo ini bukanlah gas primordial dan masih terus dilakukan pencarian gas primordial tersebut.
Sumber : Canada-France-Hawaii Telescope.

Menggali Catatan Sejarah Bima Sakti

0

Sebuah penelitian yang dilakukan para ilmuwan di Universitas Durham mengungkapkan asal muasal bintang purba di alam semesta. Menurut hasil penelitian mereka tersebut, bintang-bintang purba tersebut berasal dari sisa-sisa galaksi kecil yang terkoyak saat terjadi tabrakan galaksi 5 milyar tahun lalu.
Galaksi Yang Terkoyak
Simulasi yang memperlihatkan Galaksi Bima Sakti 5 milyar tahun lalu saat trjadinya tabraka galaksi kecil. Kredit : Andrew Cooper / John Helly / Durham University
Untuk mengetahui kejadian tersebut, para ilmuwan dari Durham’s Institute for Computational Cosmology beserta para kolaborator dari Max Planck Institute for Astrophysics, Jerman, dan Groningen University, Belanda melakukan simulasi besar-besaran yang bertujuan untuk menciptakan kembali awal mula terbentuknya galaksi Bima Sakti.
Simulasi yang dilakukan ini ternyata mengungkap keberadaan bintang-bintang purba ditemukan di puing halo bintang sekeliling Bima Sakti, ternyata telah terkoyak dari galaksi yang lebih kecil akibat gaya gravitasi yang terbentuk saat terjadinya tabrakan galaksi.
Menurut prediksi kosmolog, alam semesta dini terdiri dari galaksi-galaksi kecil yang memiliki masa hidup pendek dan memimpin terjadinya kekerasan. Galaksi-galaksi ini kemudian bertabrakan satu sama lainnya meninggalkan puing-puing yang akhirnya menetap dan tampak seperti galaksi dalam hal ini Bima Sakti.
Hasil penelitian ini juga sekaligus menunjukkan kalau bintang-bintang purba di Bima Sakti sesungguhnya berasal dari galaksi lain dan bukannya bintang-bintang awal yang lahir di Bima Sakti saat ia mulai terbentuk 10 milyar tahun lalu.
Arkeologi Galaktik
Penelitian ini tak pelak membuat Andrew Cooper dari Universitas Durham beserta rekan-rekannya menjadi ahli arkeologi galaktik yang mencari situs dimana terdapat bintang purba untuk diteliti sehingga bisa mengungkap sejarah terbentuknya galaksi Bima Sakti. Dan yang pasti untuk mendapatkan situs bintang purba pun tak mudah, karena mereka tersebar di sekeliling galaksi, bukan terkumpul hanya di suatu tempat saja.
Simulasi yang dijalankan menunjukkan betapa berbedanya relik yang ada di Bima Sakti saat ini, seperti halnya bintang-bintang purba yang memiliki kaitan dengan sebuah kejadian di masa lalu. Nah, seperti halnya lapisan batuan purba yang mengungkap sejarah Bumi, halo bintang juga mempertahankan catatan berbagai kejadian dramatik pada satu periode di masa lalu Bima Sakti yang berakhir jauh sebelum Matahari lahir.
Simulasi yang dilakukan ini dimulai sesaat setelah Dentuman Besar, sekitar 13 milyar tahun lalu. Setelah itu digunakan hukum fisika yang berlaku umum untuk mensimulasi evolusi materi gelap dan bintang-bintang. Simulasi ini dilakukan dengan kondisi yang realistik serta mampu memperbesar dan memperlihatkan detil struktur halo bintang, termasuk di dalamnya “aliran” bintang. Aliran bintang disini merupakan bintang yang terlontar atau tertolak dari galaksi-galaksi kecil sebagai akibat gaya gravitasi materi gelap.
Hasil simulasi memperlihatkan, satu bintang dalam seratus bintang di Bima Sakti berasal dari halo bintang, yang lebih besar dari piringan spiral galaksi. Dan bintang-bintang tersebut usianya sudah hampir setua alam semesta.
Tak pelak, simulasi ini bisa dikatakan merupakan cetak biru dari pembentukan galaksi, yang memperlihatkan petunjuk penting dari sejarah kelam dan dramatik yang pernah ada di Bima Sakti.
Sumber : Royal Astronomy Society

Adakah Seseorang di Luar Sana: Meninjau kembali Persamaan Drake

0

Mengapa tidak juga menemukan sinyal dari peradaan asing? Salah di mana kita? Marilah kita analisis ulang Persamaan Drake dengan meninjau setiap faktor secara terpisah, agar kita mendapat gambaran akan persoalan yang kita hadapi. Jumlah bintang yang terbentuk setiap tahun, R, adalah 1 dan astronom sudah yakin dengan hal ini setelah mengamati berbagai nebula yang sedang membentuk bintang. Bahkan baru-baru ini telah dipastikan bahwa beberapa milyar tahun lalu, saat bintang yang kini memiliki peradaban sedang dilahirkan, lebih banyak bintang tercipta setiap tahunnya. Jadi nilai R = 3 justru lebih realistis.
Namun demikian, astronom dan ahli biologi kurang yakin pada nilai dari faktor-faktor berikutnya.
Fraksi Bintang yang Memiliki Planet, f_p
Faktor kedua, fp, adalah fraksi bintang yang memiliki planet. Penemuan planet di luar tata surya kita—planet ekstrasolar—pada tahun 1995 telah memulai pencarian planet ekstrasolar dan sejauh ini telah mengkonfirmasikan dugaan astronom selama ini: planet adalah hal yang umum.
Hingga bulan Juni 2003 kita telah memastikan bahwa 12 persen bintang yang karakteristiknya mirip matahari memiliki planet raksasa yang mengorbit dalam jarak 5 Satuan Astronomi (1 Satuan Astronomi adalah jarak rata-rata Bumi ke Matahari, yaitu 150 juta km, sementara 5 SA adalah adalah jarak Matahari-Jupiter). Dengan demikian kita dapat secara langsung menyimpulkan bahwa 12 persen bintang memiliki planet, sehingga f_p = 0.12.
Namun teknik pencarian planet ekstrasolar hingga saat ini hanya sanggup menemukan planet-planet raksasa, terutama yang berada pada orbit yang cepat. Tata surya yang menyerupai tata surya kita belum dapat dideteksi, sehingga kemungkinan besar justru persentase bintang yang memiliki planet dapat lebih besar dari 0.12, sehingga angka f_p dapat berkisar antara 20 hingga 100 persen.
Meskipun kita tidak memiliki hasil yang final, namun kini jelas bahwa nilai f_p tidak akan menghambat proses perhitungan secara keseluruhan.
Jumlah Planet yang Menyerupai Bumi, n_e
Angka ini tidak terlalu pasti. Frank Drake mengungkapkan bahwa diskusi pada tahun 1961 menyimpulkan bahwa nilai minimum n_e berkisar antara 1 hingga 5. Dengan kata lain, setiap tata surya diharapkan memiliki paling tidak satu buah planet yang mirip Bumi (didefinisikan sebagai tempat di mana adanya air dimungkinkan), dan bisa saja terdapat tiga, empat, atau lima planet yang baik.
Penemuan-penemuan terbaru di Mars dan Europa memastikan dugaan Frank Drake dan kolega. Di planet Mars maupun di Europa—salah satu satelit Jupiter—ditemukan adanya kutub es maupun lapisan es yang dapat menjadi air bila suhu meningkat, sehingga jumlah “Bumi” dalam tata surya dapat menjadi tiga. Walaupun demikian, planet ekstrasolar yang telah ditemukan hingga saat ini telah memberi tahu kita sesuatu: Tata surya kita yang memiliki sejumlah planet dan satelit yang demikian banyak, dengan orbit yang stabil, mungkin adalah sebuah keistimewaan dan bukan sebuah keharusan. Kemungkinan besar planet yang mirip Bumi dengan orbit dan iklim yang stabil adalah sesuatu yang langka.
Fraksi Planet yang Memiliki Kehidupan, f_l
Berapa besar kemungkinan sebuah planet yang kondisinya mirip Bumi dapat memunculkan kehidupan? Kita sudah mengetahui bahwa bangun dasar dari kehidupan adalah molekul organik dan asam amino, dan kedua unsur ini cukup berlimpah di jagat raya. Hidrokarbon telah ditemukan pada meteorit, komet, dan materi antar bintang. Bahkan jumlah asam amino pada ruang antar bintang jauh lebih besar daripada pada biosfer Bumi. Meskipun hidrokarbon dan asam amino bukanlah organisme hidup, namun tidak diragukan lagi bahwa persiapan evolusi makhluk hidup bermulai dari awan antar bintang.
Yang lebih penting adalah penemuan-penemuan dari ilmu biologi. Kurang lebih 3.9 milyar tahun lalu Bumi ditumbuk komet (atau meteor) raksasa yang menguapkan lautan, dan saat itu mikroorganisme baru muncul selama beberapa ratus juta tahun. Namun dalam waktu setengah milyar tahun sudah muncul organisme yang berfotosintesis dan beberapa ratus juta tahun kemudian muncul bakteria. Kesimpulannya, dengan kondisi yang tepat, kehidupan dapat muncul dengan mudah—paling tidak bila kita memiliki laboratorium sebesar planet dan jutaan tahun untuk menjalankan eksperimen tersebut. Jika proses munculnya kehidupan pada dasarnya sulit, mungkin saja kehidupan tidak muncul pada kesempatan pertama dan akan muncul kemudian. Ahli biologi kini memperdebatkan aapak kehidupan dapat muncul beberapa kali secara terpisah. Ada banyak alasan untuk menganggap bahwa semua makhluk hidup sekarang berasal dari nenek moyang yang sama, namun bentuk kehidupan lain dapat muncul dan punah. Jika kehidupan dapat muncul di mana saja, maka logis untuk menetapkan f_l = 1.
Peluang Munculnya Intelijensia, f_i
Dengan demikian masih ada tiga faktor yang belum diketahui. Berapa besar peluang kemunculan kecerdasan (f_i)? Berapa persen peradaban cerdas yang dapat mengembangkan tekologi pemancar sinyar radio (f_c)? Dan berapa kala hidup dari peradaban pemancar sinyal tersebut (L)? Tiga faktor terakhir ini adalah persoalan biologi dan sosiologi yang mengandung perdebatan yang lebih besar daripada faktor astronomi.
Menurut banyak ilmuwan, sungguh naif untuk menganggap evolusi makhluk hidup pasti akan berujung pada intelijensia sebagaimana kita memahaminya. Almarhum Stephen Jay Gould, seorang paleontolog dari Universitas Harvard, berpendapat “keberadaan kita mungkin berhutang pada nasib baik. Homo Sapiens adalah sebuah kekhususan, bukan sebuah kecenderungan.” Evolusi adalah proses yang tak dapat diramalkan, tak terarah, dan chaotic. Berulangkali Gould menekankan bahwa jika kita mengulang seluruhnya proses evolusi di muka Bumi, maka belum tentu manusia dapat muncul. Gould juga mencatat bahwa tidak ada pola dalam evolusi. Bila sebuah hewan yang baru berevolusi lebih cerdas dan lebih besar dari sebelumnya, bisa saja nantinya spesies ini tidak lolos seleksi alam. Teknologi dan perencanaan yang dibuat manusia besar kemungkinan juga merupakan kegagalan evolusi.
Namun bagi pihak lain, lolos seleksi alam berarti meningkatkan peluang bertahan sebuah spesies dengan intelijensia yang lebih tinggi. Ada pula yang berpendapat bahwa astronom dan fisikawan terlalu optimis dalam memperkirakan kemunculan intelijensia. “Fisikawan cenderung berpikir lebih deterministik daripada ahli biologi,” tulis ahli biologi Ernst Mayr. “Mereka berpikir jika kehidupan telah muncul di suatu tempat, maka suatu saat akan mengembangkan intelijensia. Di lain sisi, ahli biologi terkesima dengan kecilnya peluang kemunculan kecerdasan.” Jadi perbedaan pendapat dua bidang ilmu berakar dari latar belakang pendidikan keduanya. Bagi seorang ahli biologi, sesuatu yang terjadi sekali dalam 4 milyar tahun adalah sesuatu yang sangat langka. Astronom memandangnya lebih luas: Sesuatu yang terjadi dalam waktu kurang dari kala hidup sebuah planet adalah kejadian yang umum.
Mereka-mereka yang optimis akan berpendapat bahwa Bumi masih memiliki sisa waktu efektif 4 milyar tahun sebelum matahari mulai kehabisan bahan bakar. Ini jelas adalah waktu yang sangat lama. Bila evolusi menuju intelijensia adalah proses yang sulit dan langka, maka seharusnya intelijensia tidak akan muncul demikian cepat dalam sejarah Bumi. Jika melihat kemunculan manusia yang cukup cepat, maka besar kemungkinan nantinya akan muncul bentuk kehidupan lain yang berbeda beberapa kali (dan menemukan fosil kita).
Kaum optimis menjawab dengan menunjukkan fakta bahwa kita tidak tahu berapa lama Bumi akan tetap stabil seperti ini. Bumi yang nampaknya stabil ini bisa saja merupakan suatu keberuntungan dan mungkin saja di kemudian hari keberuntungan kita akan hilang. Dengan demikian justru kita ini muncul agak terlambat dalam sejarah Bumi.
Perlu diingat bahwa fakta munculnya intelijensia sebanyak satu kali tidak akan membantu kita dalam menentukan besarnya frekuensi kemunculan intelijensia. Alasannya mudah: hanya ada satu kasus yaitu kita sendiri.
Hingga kini, f_i tetap menjadi faktor paling kontroversial dalam Persamaan Drake. Ada yang berpendapat bahwa besarnya mendekati nol, sementara ada pula yang yakin bahwa besarnya mendekati 1. Nampaknya belum ada jalan tengah.
Bencana Planet
Ada lagi satu faktor yang harus kita pikirkan dalam memperkirakan peluang kemunculan intelijensia, yaitu kestabilan tata surya dan iklim planet kita. Bila sebuah planet sangat cocok untuk menculnya kehidupan, belum tentu kondisinya akan terus begitu selamanya.
Simulasi komputer sebuah sistem tata surya menunjukkan bahwa planet yang menyerupai Bumi tidak akan sanggup menahan tarik-menarik gravitasi antara dua (atau lebih) planet raksasa sebesar Jupiter. Planet kecil ini akan dilontarkan keluar dari tata surya atau menuju bintang pusat.
Sebaliknya, sistem tata surya tanpa adanya planet raksasa juga akan membahayakan planet mirip Bumi. Simulasi komputer menunjukkan bahwa Jupiter bertindak sebagai “penghisap debu” tata surya yang menarik komet-komet berbahaya ke arahnya sehingga tidak mengarah ke Bumi. Tanpa adanya planet seukuran Jupiter maka jumlah tumbukan komet akan 1000 kali lebih banyak dan tumbukan yang membawa bencana (seperti yang memunahkan dinosaurus 65 juta tahun lalu) akan terjadi setiap 100 000 tahun. Tentu saja ini akan memperlambat pross evolusi dari kehidupan sederhana menjadi kehidupan intelijen.
Sebuah studi tentang dinamika orbit Bumi juga menunjukkan bahwa perubahan kemiringan orbit Bumi dapat berdampak pada perubahan iklim. Bumi kita cukup beruntung memiliki Bulan yang dapat meredam perubahan kemiringan orbit Bumi, namun planet yang tidak memiliki satelit—seperti Mars—dapat mengalami perubahan kemiringan yang besar dan dapat mengubah iklim dan musim dengan drastis.
Walaupun demikian sejarah evolusi kehidupan di Bumi justru menunjukkan bahwa perubahan iklim yang drastis dapat mempercepat evolusi. Ahli biologi menunjukkan bahwa zaman es global yang terjadi antara 760 hingga 550 juta tahun lalu justru menimbulkan “ledakan Prekambrian” yang menghasilkan banyak bentuk kehidupan baru dalam waktu yang singkat. Kepunahan besar yang terjadi di Bumi justru selalu diikuti oleh perbaikan yang cepat dan menghasilkan spesies-spesies baru. Perbaikan total dari kepunahan besar, dalam semua kasus, selalu membutuhkan waktu 10 juta tahun. Bahkan kemunculan manusia pada masa zaman es kadangkala dipandang sebagai “evolusi di bawah tekanan” yang berujung pada kemampuan adaptasi dan intelijensia tinggi.
Namun bencana planet yang terlalu sering terjadi atau terlalu ekstrim dapat membunuh seluruh kehidupan, atau menahan evolusi pada tahap rendah.
Peluang Munculnya Teknologi Radio, f_c
Baiklah, kita anggap saja kehidupan intelijen di luar Bumi adalah sesuatu yang langka namun ada. Dapatkah kira berharap mereka akan mengirimkan sinyal radio ke luar angkasa? Berapa persen peradaban yang dapat—dan ingin—mengirimkan sinyal radio? Berapa besarnya f_c? Semua orang menganggap f_c cukup besar dan mungkin mendekati 1. Cepat atau lambat, peradaban manapun yang memiliki rasa ingin tahu dan memiliki teknologi untuk mengembangkan sinyal radio dan mengetahui bahwa ini adalah salah satu cara efektif untuk berkomunikasi pasti akan mengirimkan sinyal.
Atau kita sebenarnya cukup naif? Mungkinkah makhluk yang benar-benar berbeda dari kita akan mengirimkan sinyal ke luar angkasa? Atau bisa saja radio adalah teknologi yang luar biasa primitif bila dibandingkan dengan sesuatu yang nantinya akan kita temukan.
Kala hidup L
Kita tiba pada faktor terakhir dalam Persamaan Drake yaitu L, kala hidup rata-rata dari peradaban cerdas yang mampu berkomunikasi. Dalam menentukan L, pendapat kelompok optimis dan pesimis juga berbeda jauh.
Mereka yang optimis berpendapat bahwa masyarakat intelijen yang stabil dapat bertahan hingga puluhan juta tahun, bila tidak selamanya. Terlebih lagi, spesies yang dapat bertahan lama akan memiliki kesempatan untuk menyebar ke tata surya lain dan memperluas keberadaannya. Kaum pesimis justru berpendapat bahwa teknologi radio baru diciptakan satu abad lalu tetapi hampir setiap saat manusia selalu berada di ambang kepunahan. Teknologi yang memungkinkan adanya komunikasi antar bintang juga sekaligus menjadi teknologi yang memungkinkan kehancuran kita.
Namun ada pula yang mengatakan bahwa manusia pada suatu saat tidak bisa punah sepenuhnya. Manusia sudah terlalu menyebar di muka Bumi dan begitu adaptif, sehingga bila terjadi kepunahan massal maka beberapa kelompok masih dapat bertahan hidup dan memenuhi Bumi kembali, hingga berjumlah milyaran, dalam beberapa ribu tahun. Peradaban kedua yang berteknologi tinggi dapat muncul kembali dan mungkin saja dapat terjadi beberapa kali.
Dengan demikian harga L tidak mesti mengacu pada kala hidup satu peradaban berteknologi, tapi dapat pula merupakan penjumlahan dari semua peradaban yang pernah muncul.
Paradoks Fermi
Inilah argumentasi kelompok pesimis yang paling kuat. Argumentasi ini tidak didasarkan pada teori atau dugaan, tapi jusru berasal dari fakta pengamatan: Bumi hingga saat ini tidak pernah dikunjungi atau dikepung oleh makhluk angkasa luar.
Sebuah peradaban yang dapat bertahan hingga puluhan juta tahun seharusnya memiliki cukup waktu untuk berkelana ke mana pun di galaksi kita, meskipun bergerak dengan kecepatan yang teramat rendah. Dorongan untuk memperluas teritori nampaknya adalah ciri universal dari makhluk hidup. Namun hingga saat ini tidak pernah ada tanda-tanda atau adanya catatan fosil yang menunjukkan bahwa Bumi pernah dikolonisasi oleh makhluk asing berteknologi tinggi, baik dulu maupun sekarang. Persoalan inilah yang disebut dengan Paradoks Fermi, dinamai dari ahli fisika nuklir Enrico Fermi, yang pada tahun 1950—dalam sebuah diskusi tentang makhluk asing—bertanya, “Di mana mereka?”
Kelompok optimis punya banyak jawaban atas Paradoks Fermi. Mungkin sebuah peradaban yang cukup beradab untuk tidak menghancurkan dirinya sendiri (tidak seperti kita) menjadi emoh terhadap imperialisme, atau dorongan untuk mengkolonisasi planet-planet berkurang setelah beberapa ribu planet. Mungkin kita tinggal di suatu wilayah yang kurang menarik di Bima Sakti kita, daerah pinggiran yang jauh dari keramaian. Atau mungkin saja makhluk asing sebenarnya sudah berada di planet pada bintang-bintang di sekitar kita namun mematuhi prinsip tidak turut campur seperti Prime Directive dalam serial Star Trek yang terkenal itu, atau mungkin mereka sebenarnya diam-diam—tanpa kita ketahui—mengunjungi kita dengan menyamar sebagai manusia Bumi (dan mungkin berhasil memenangkan pemilu di suatu negara adidaya) seperti dalam film Men in Black? Hal inilah yang kita sebut sebagai “hipotesis kebun binatang,” semua orang ada di sekitar kita sedang mengamati kita. Atau mungkin saja penjelajahan antar bintang adalah suatu aktivitas yang mahal dan membutuhkan energi yang luar biasa besar, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan hal lain yang lebih berguna untuk kelangsungan peradaban mereka, misalnya untuk mengirimkan sinyal radio ke ruang angkasa (seperti yang saat ini sedang kita lakukan).
Jadi Bagaimana?
Lalu kesimpulannya apa? Masihkah kita menganggap N = L? Mungkin tidak. Bagaimana dengan N = 0? Bagi banyak orang hal seekstrim ini tidak bisa diterima, tapi tentu saja jagad raya tidak harus mengikuti apa yang kita inginkan dan harapkan. Mungkin ada peradaban asing di luar sana, dan mungkin beberapa mencoba berkomunikasi. Tapi mungkin jumlahnya amat sangat kecil sehingga jaraknya demikian jauh dan hingga sekarang sinyal yang mereka kirimkan belum sampai. Dalam bukunya, Is Anyone Out There? (Adakah Seseorang di Luar Sana?) Frank Drake berharap untuk dapat menemukan sinyal dari peradaban asing sebelum tahun 2000. Namun pada bulan Juli 1996, pada konferensi ke-5 bioastronomi di Italia, Drake mengakui, “mungkin saya terlalu optimistis. Kesuksesan tidak dapat diramalkan.” Cocconi dan Morrison juga sudah mengingatkan dalam artikelnya di tahun 1959: “Peluang kesuksesan sulit diperkirakan, namun jika kita tidak pernah mencari, peluang kesuksesan adalah nol.”
Mungkin Persamaan Drake hadir tidak untuk dipecahkan, tapi untuk direnungkan. Nilai utamanya terletak pada pertanyaan-pertanyaan besar yang diajukannya, memaksa kita untuk duduk merenungkan keberadaan kita di alam raya yang maha luas ini. Ketidakpastian dan rasa ingin tahu akan terus mendorong riset SETI, tetapi mungkin hasil sejati yang muncul bukanlah jawaban ya atau tidak (paling tidak dalam masa kita) melainkan penemuan atas diri kita yang sebenarnya.
Purnakata: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005. Kini, diskusi mengenai kehidupan di luar Bumi (extraterrestrial) dan teori-teorinya kini—sebagaimana pemikiran-pemikiran lainnya—sudah sangat berkembang dan berbagai alternatif sudut pandang telah diajukan sebagai wacana. Persamaan Drake kini sudah banyak didiskusikan dan diperdebatkan mengenai keabsahannya, dan ide untuk secara aktif mengirimkan pesan ke antariksa (METI, Messages to Extra Terrestrial Intelligences) juga sudah mulai dibicarakan dan cukup menjadi kontroversi. Beberapa trik untuk dapat “mencuri dengar” siaran radio dari peradaban di luar Bumi juga sudah mulai dibahas. Persamaan Drake yang dulu menjadi satu-satunya perspektif ilmiah dalam mencari kehidupan di luar Bumi, kini adalah satu perspektif di antara alternatif-alternatif lain yang menarik untuk ditinjau dan dikritisi. Pembaca yang tertarik untuk mengeksplorasi lebih lanjut mengenai pencarian kehidupan di luar Bumi, saya sarankan untuk memulainya dari blog George Dvorsky.

Tata Surya Memantul, Dinosaurus Pun Punah

0

Bumi bergerak mengelilingi pusat massanya yang berada dekat Matahari. Dan Matahari bersama seluruh sistem Tata Surya juga bergerak mengelilingi pusat Galaksi. Pergerakan Matahari di Bimasakti, secara reguler ternyata mengirimkan komet meluncur masuk ke bagian dalam Tata Surya. Akibatnya terjadi tabrakan besar-besaran yang memusnahkan kehidupan di Bumi.
Tabrakan besar yang terjadi 65 juta tahun lalu, yang diperkirakan menjadi pemicu pemusnahan masal dinosaurus dan spesies lainnya pada akhir periode Cretaceous. Kredit gambar : NASA; Don Davis
Itulah hasil penelitian terbaru yang dihasilkan oleh pemodelan terbaru di Cardiff Centre for Astrobiology. Dalam pemodelan itu dilakukan simulasi gerak Tata Surya dan ditemukan kalau geraknya ternyata memantul ke atas dan ke bawah di sepanjang bidang Galaksi. Saat melewati bagian paling rapat dari bidang Galaksi, gaya gravutasi dari area sekitar awan gas dan debu raksasa justru mengubah komet dari jalurnya. Akhirnya komet-komet itu pun tercebur masuk ke dalam Tata Surya, dan sebagian di antaranya mengalami tabrakan dengan bumi.
Diperkirakan, Tata Surya akan bergerak melewati bidang Galaksi setiap 35 – 45 juta tahun dan meningkatkan kemungkinan terjadinya tabrakan dengan komet. Bukti dari kawah yang ada di bumi juga menunjukan kalau Bumi menderita tabrakan itu pada kisaran 36 juta tahun lalu. Dengan demikian bisa dikatakan ada kesesuain yang didapat dari fakta kejadian di bumi dengan hasil pemodelan untuk gerak Tata Surya dalam Bimasakti.
Periode tabrakan besar yang terjadi di Bumi juga bertepatan dengan terjadinya pemusnahan massal dinosaurus 65 juta tahun yang lalu. Dan jika melihat posisi kita di galaksi saat ini, maka saat ini kita sudah berada cukup dekat dengan periode serupa.
Jika kita kembali ke 65 juta tahun lalu, maka bisa dikatakan efek pantulan di bidang galaksi merupakan mimpi buruk bagi dinosaurus, namun ternyata kejadian itu justru menjadi awal baru dari penyebaran kehidupan. Diperkirakan, tabrakan tersebut melepaskan puing-puing berisi mikro organisme ke angkasa dan di seluruh alam semesta.

Wujud Tata Surya Kita di Mata Alien

0

Astronom kini berada pada awal era mendeteksi dan mendapatkan citra sistem keplanetan di luar tata surya, seperti misalnya sistem yang mengedar bintang Fomalhaut. Bagaimana jika sebaliknya, astronom alien yang mencari planet lain di luar tempat tinggalnya, akan seperti apa Tata Surya kita ini terlihat?
Marc J. Kuchner dari NASA Goddard Space Flight Center dan Christopher C. Stark dari Departemen Fisika Universitas Maryland memodelkan struktur tiga dimensi debu-debu Sabuk Kuiper. Dalam model baru itu mereka mensimulasikan 25 ukuran debu yang berlainan serta menggabungkan interaksi planet-debu dan tumbukan antar- debu. Dengan simulasi tersebut mereka bisa mengetahui bagaimana wujud Sabuk Kuiper saat Tata Surya kita ini masih berusia sangat muda dan bagaimana perubahan strukturnya dari waktu ke waktu terlihat.
Sabuk Kuiper merupakan daerah di luar orbit planet Neptunus yang mengandung jutaan benda-benda es yang mengorbit Matahari.  Objek-objek Sabuk Kuiper adakalanya saling bertumbukan dan menghasilkan butiran-butiran lembut. Akan tetapi tidaklah gampang bagi debu ini untuk bisa mengembara ke penjuru Tata Surya karena partikel-partikel kecil didera berbagai gaya selain tarikan gravitasi dari matahari dan planet-planet. Nah, diyakini bahwa Sabuk Kuiper ini merupakan versi tua dan tipis dari piringan debu yang terlihat di sekitar bintang Fomalhaut dan Vega.
Debu-debu di Kuiper Belt ini dipengaruhi oleh angin matahari, yang membawanya lebih dekat ke arah matahari, dan sinar matahari, yang bisa menarik debu mendekati matahari ataupun mendorong menjauhi Matahari. Kemana persisnya tergantung pada ukuran buliran debu. Antara buliran-buliran debu itu sendiri juga saling bertumbukan. Buliran-buliran yang rapuh akan hancur akibatnya.
Dengan bantuan superkomputer Discover milik NASA, Kuchner dan Stark mengikuti jejak 75000 partikel debu-simulasi saat mereka berinteraksi dengan planet-planet luar, cahaya matahari, dan angin matahari, serta antar- partikel debu itu sendiri. Partikel-partikel itu berukuran antara sebesar lubang jarum (sekitar 1,2 milimeter) hingga seperseribunya atau kira-kira sebesar partikel asap. Selama simulasi, partikel-partikel tersebut diletakkan pada salah satu dari tiga tipe orbit yang sudah diketahui saat ini dengan kecepatan berdasarkan hasil penelitian terkini mengenai seberapa cepat debu dihasilkan. Dengan efek gravitasinya, Neptunus menggiring partikel- partikel tersebut menuju orbit tertentu. Itu sebabnya mengapa terdapat zona kosong di dekat planet tersebut. Rupanya hingga kini pun tumbukan memainkan peranan penting dalam membentuk struktur Sabuk Kuiper. Tumbukan cenderung menghancurkan partikel-partikel berukuran besar sebelum sempat berkeluyuran terlampau jauh dari tempat mereka terbentuk.
Bagaimana dengan wajah Sabuk Kuiper di masa lampau yang jauh sekali? Kuchner dan Stark menyimulasikannya dengan mempercepat kecepatan pembentukan debu. Di masa lampau Sabuk Kuiper berisi lebih banyak objek yang saling bertumbukan. Dan tumbukan itu lebih sering terjadi. Akibatnya, debu terbentuk lebh cepat. Dengan makin banyaknya partikel debu, makin sering pula terjadi tumbukan antar-debu. Ini seperti halnya memasukkan sepuluh anak yang berlarian di dalam ruang kelas. Kemungkinan mereka saling bertumbukan akan kecil. Lain halnya jika didalam kelas dimasukkan 50 anak yang berlarian sesuka hati. Karena dominannya peran tumbukan ini, kemungkinan buliran debu yang berukuran besar keluar dari Sabuk Kuiper akan semakin kecil. Jika dirunut balik, piringan debu masa kini yang luas mengempis menjadi cincin terang dan rapat seperti yang terlihat mengitari bintang lain, seperti misalnya Fomalhaut.
Dari hasil simulasi, mereka menciptakan citra yang menggambarkan Tata Surya jika dideteksi dalam gelombang inframerah dari jarak yang sangat jauh. Demikianlah kira-kira bagaimana wujud Tata Surya seandainya dilihat oleh alien yang berada jauh sekali dan tengah mencari- cari planet lain. Mungkin planet akan tampak terlampau redup untuk dideteksi secara langsung. Namun alien itu bisa menentukan keberadaan planet Neptunus dengan mudah, yakni dengan melihat adanya celah di piringan debu. Gravitasi Neptunus lah yang telah mengukir celah tersebut.
Para peneliti tersebut berharap bahwa model yang mereka kembangkan akan membantu dalam mengenali planet-planet seukuran Neptunus yang mengedari bintang-bintang lainnya. Langkah lain yang selanjutnya ingin dikerjakan adalah menyimulasikan piringan debu Fomalhaut dan bintang lain untuk mengetahui keberadaan planet dengan melihat distribusi debunya. Para peneliti itu juga berencana mengembangkan model untuk memunculkan gambaran komplit piringan debu Tata Surya dengan menambah sumber-sumber debu yang letaknya lebih dekat ke matahari, termasuk sabuk asteroid yang terletak antara orbit Mars dan Jupiter dan ribuan asteroid Trojan yang dihimpun oleh gravitasi Jupiter.
Sumber: NASA Goddard Space Flight Center

Sejarah Awal Teori Pembentukan Tata Surya

0

Sebuah teori lahir dari keingintahuan akan suatu kejadian atau keadaan. Tidak mudah untuk mempercayai sebuah teori baru, apalagi jika teori tersebut lahir ditengah kondisi masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh para ilmuwan di awal-awal penemuan mereka.
Hal utama yang dihadapi untuk mengerti lebih jauh lagi tentang Tata Surya adalah bagaimana Tata Surya itu terbentuk, bagaimana objek-objek didalamnya bergerak dan berinteraksi serta gaya yang bekerja mengatur semua gerakan tersebut. Jauh sebelum Masehi, berbagai penelitian, pengamatan dan perhitungan telah dilakukan untuk mengetahui semua rahasia dibalik Tata Surya.
Pengamatan pertama kali dilakukan oleh bangsa China dan Asia Tengah, khususnya dalam pengaruhnya pada navigasi dan pertanian. Dari para pengamat Yunani ditemukan bahwa selain objek-objek yang terlihat tetap di langit, tampak juga objek-objek yang mengembara dan dinamakan planet. Orang-orang Yunani saat itu menyadari bahwa Matahari, Bumi, dan Planet merupakan bagian dari sistem yang berbeda. Awalnya mereka memperkirakan Bumi dan Matahari berbentuk pipih tapi Phytagoras (572-492 BC) menyatakan semua benda langit berbentuk bola (bundar).
Sampai dengan tahun 1960, perkembangan teori pembentukan Tata Surya bisa dibagi dalam dua kelompok besar yakni masa sebelum Newton dan masa sesudah Newton.
http://www.muslimdaily.net/berita/tatasurya.jpg
Permulaan Perhitungan Ilmiah
Perhitungan secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh Aristachrus dari Samos (310-230 BC). Ia mencoba menghitung sudut Bulan-Bumi-Matahari dan mencari perbandingan jarak dari Bumi-Matahari, dan Bumi-Bulan. Aristachrus juga merupakan orang pertama yang menyimpulkan Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan berbentuk lingkaran yang menjadi titik awal teori Heliosentrik. Jadi bisa kita lihat kalau teori heliosentrik bukan teori yang baru muncul di masa Copernicus. Namun jauh sebelum itu, Aristrachrus sudah meletakkan dasar bagi teori heliosentris tersebut.
Pada era Alexandria, Eratoshenes (276-195BC) dari Yunani berhasil menemukan cara mengukur besar Bumi, dengan mengukur panjang bayangan dari kolom Alexandria dan Syene. Ia menyimpulkan, perbedaan lintang keduanya merupakan 1/50 dari keseluruhan revolusi. Hasil perhitungannya memberi perbedaan sebesar 13% dari hasil yang ada saat ini.
Ptolemy dan Teori Geosentrik
Ptolemy (c 150AD) menyatakan bahwa semua objek bergerak relatif terhadap bumi. Dan teori ini dipercaya selama hampir 1400 tahun. Tapi teori geosentrik mempunyai kelemahan, yaitu Matahari dan Bulan bergerak dalam jejak lingkaran mengitari Bumi, sementara planet bergerak tidak teratur dalam serangkaian simpul ke arah timur. Untuk mengatasi masalah ini, Ptolemy mengajukan dua komponen gerak. Yang pertama, gerak dalam orbit lingkaran yang seragam dengan periode satu tahun pada titik yang disebut deferent. Gerak yang kedua disebut epycycle, gerak seragam dalam lintasan lingkaran dan berpusat pada deferent.
Teori heliosentrik dan gereja
Nicolaus Copernicus (1473-1543) merupakan orang pertama yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Matahari merupakan pusat sistem Tata Surya, dan Bumi bergerak mengeliinginya dalam orbit lingkaran. Untuk masalah orbit, data yang didapat Copernicus memperlihatkan adanya indikasi penyimpangan kecepatan sudut orbit planet-planet. Namun ia mempertahankan bentuk orbit lingkaran dengan menyatakan bahwa orbitnya tidak kosentrik. Teori heliosentrik disampaikan Copernicus dalam publikasinya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium kepada Paus Pope III dan diterima oleh gereja.
Tapi dikemudian hari setelah kematian Copernicus pandangan gereja berubah ketika pada akhir abad ke-16 filsuf Italy, Giordano Bruno, menyatakan semua bintang mirip dengan Matahari dan masing-masing memiliki sistem planetnya yang dihuni oleh jenis manusia yang berbeda. Pandangan inilah yang menyebabkan ia dibakar dan teori Heliosentrik dianggap berbahaya karena bertentangan dengan pandangan gereja yang menganggap manusialah yang menjadi sentral di alam semesta.
Lahirnya Hukum Kepler
Walaupun Copernicus telah menerbitkan tulisannya tentang Teori Heliosentrik, tidak semua orang setuju dengannya. Salah satunya, Tycho Brahe (1546-1601) dari Denmark yang mendukung teori matahari dan bulan mengelilingi bumi sementara planet lainnya mengelilingi matahari. Tahun 1576, Brahe membangun sebuah observatorium di pulau Hven, di laut Baltic dan melakukan penelitian disana sampai kemudian ia pindah ke Prague pada tahun 1596.
Di Prague, Brahe menghabiskan sisa hidupnya menyelesaikan tabel gerak planet dengan bantuan asistennya Johannes Kepler (1571-1630). Setelah kematian Brahe, Kepler menelaah data yang ditinggalkan Brahe dan menemukan bahwa orbit planet tidak sirkular melainkan elliptik.
Kepler kemudian mengeluarkan tiga hukum gerak orbit yang dikenal sampai saat ini yaitu ;
  1. Planet bergerak dalam orbit ellips mengelilingi matahari sebagai pusat sistem.
  2. Radius vektor menyapu luas yang sama dalam interval waktu yang sama.
  3. Kuadrat kala edar planet mengelilingi matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata dari matahari.
Kepler menuliskan pekerjaannya dalam sejumlah buku, diantaranya adalah Epitome of The Copernican Astronomy dan segera menjadi bagian dari daftar Index Librorum Prohibitorum yang merupakan buku terlarang bagi umat Katolik. Dalam daftar ini juga terdapat publikasi Copernicus, De Revolutionibus Orbium Coelestium.
Awal mula dipakainya teleskop
Pada tahun 1608, teleskop dibuat oleh Galileo Galilei (1562-1642), .Galileo merupakan seorang professor matematika di Pisa yang tertarik dengan mekanika khususnya tentang gerak planet. Ia salah satu yang tertarik dengan publikasi Kepler dan yakin tentang teori heliosentrik. Dengan teleskopnya, Galileo berhasil menemukan satelit-satelit Galilean di Jupiter dan menjadi orang pertama yang melihat keberadaan cincin di Saturnus.
Salah satu pengamatan penting yang meyakinkannya mengenai teori heliosentrik adalah masalah fasa Venus. Berdasarkan teori geosentrik, Ptolemy menyatakan venus berada dekat dengan titik diantara matahari dan bumi sehingga pengamat dari bumi hanya bisa melihat venus saat mengalami fasa sabit.
Tapi berdasarkan teori heliosentrik dan didukung pengamatan Galileo, semua fasa Venus bisa terlihat bahkan ditemukan juga sudut piringan venus lebih besar saat fasa sabit dibanding saat purnama. Publikasi Galileo yang memuat pemikirannya tentang teori geosentrik vs heliosentrik, Dialogue of The Two Chief World System, menyebabkan dirinya dijadikan tahanan rumah dan dianggap sebagai penentang oleh gereja.
Dasar yang diletakkan Newton
Di tahun kematian Galileo, Izaac Newton (1642-1727) dilahirkan. Bisa dikatakan Newton memberi dasar bagi pekerjaannya dan orang-orang sebelum dirinya terutama mengenai asal mula Tata Surya. Ia menyusun Hukum Gerak Newton dan kontribusi terbesarnya bagi Astronomi adalah Hukum Gravitasi yang membuktikan bahwa gaya antara dua benda sebanding dengan massa masing-masing objek dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda. Hukum Gravitasi Newton memberi penjelasan fisis bagi Hukum Kepler yang ditemukan sebelumnya berdasarkan hasil pengamatan. Hasil pekerjaannya dipublikasikan dalam Principia yang ia tulis selama 15 tahun.
Teori Newton menjadi dasar bagi berbagai teori pembentukan Tata Surya yang lahir kemudian, sampai dengan tahun 1960 termasuk didalamnya teori monistik dan teori dualistik. Teori monistik menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Sedangkan teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.

sumber : The Origin and Evolution of the Solar System (M. M. Woolfson)

Supernova Penyebab Kepunahan di Akhir Zaman Ordovisium

0

Sekitar 444 juta tahun lalu, lebih dari setengah hewan laut invertebrata tersapu bersih di akhir zaman Ordovisium (440-450 juta tahun lalu) dalam pemusnahan massal terbesar ketiga dalam sejarah.

Ilustrasi ledakan supernova
Beberapa tahun lalu, Brian thomas dari Universitas Kansas menyatakan kalau kejadian tersebut dipicu oleh supernova yang berada tak jauh dari Bumi. Diperkirakan saat itu supernova tersebut membunuh penghuni bumi tersebut dengan sinar gammanya. Sepuluh detik ledakan sinar gamma akan menyebabkan Bumi kehilangan setengah dari lapisan ozonnya dan membuat kehidupan di Bumi tak lagi terlindungi dari bahaya sinar ultraviolet selama lebih dari 10 tahun.
Nah jika demikian, organisme yang hidup jauh di bawah laut akan terlindung dari sinar ultraviolet. Namun tidak demikian dengan mereka yang hidup dekat dengan permukaan. Akibatnya organisme yang hidup di permukaan, tersapu habis dalam rentang waktu tersebut. Yang menarik dari ide Thomas, kondisi geologi menunjukan spesies yang hidup dekat permukaan mengalami kepunahan terbesar dalam pemusnahan di zaman Ordovisium. Menurut Thomas, sejauh ini data geologi yang konsisten dengan ide ledakan sinar gamma tersebut berada pada area di sekitar Kutub Selatan.
Dengan demikian diprediksikan, daratan dan organisme yang berada di bagian atas ekuator akan tetap terlindungi dari ledakan tersebut sehingga bisa disimpulkan kalau kondisi geologinya akan berbeda. Untuk mengetahuinya, Thomas menyarankan agar penelitian harus dilakukan di Cina utara, yang menurutnya merupakan tempat yang baik untuk memulai pencarian. Karena itu.. mulailah menggali.

Ledakan Bintang Yang Mengubah Teori Supernova

0

Teleskop Hubble milik NASA berhasil mengidentifikasi bintang yang satu juta kali lebih terang dari Matahari, sebelum ia meledak sebagai supernova di tahun 2005.
Yang menarik, berdasarkan teori evolusi bintang yang ada saat ini, sebuah bintang seharusnya belum menghancurkan diri sendiri di awal kehidupannya. Dengan adanya penemuan ini, bisa jadi pemahaman evolusi bintang masif yang ada selama ini memiliki kesalahan dan perlu adanya revisi.
Bintang yang meledak tersebut memiliki massa 100 kali massa Matahari dan masih terlalu muda untuk dapat mengevolusi inti besi yang masif dalam reaksi fusi nuklir. Kondisi tersebut merupakan prasyarat terjadinya keruntuhan inti yang memicu terjadinya ledakan supernova.
Hubble mnemukan supernova pada bintang yang masih muda. Kredit : Hubble
Hubble menemukan supernova pada bintang yang masih muda. Kredit : Hubble
Ledakan yang di identifikasi sebagai SN 2005gl terlihat pada galaksi spiral NGC 266 tanggal 5 Oktober 2005. Citra pra-ledakan yang diambil pada tahun 1997 menunjukan kalau si bintang yang meledak ini dulunya merupakan titik yang sangat terang dengan magnitudo visual absolutnya mencapai -10,3. Dengan kecerlangan seperti itu, diperkirakan ia berasal dari kelas bintang Luminous Blue Variables (LBVs), karena tidak ada bintang tipe lain yang lebih terang lagi.
Seagai bagian dari bintang kelas LBV, evolusi pada bintang untuk melepaskan massanya terjadi lewat angin bintang yang sangat dasyat. Hanya dengan cara ini, si bintang dapat membentuk inti besi yang sangat besar yang pada akhirnya meledak saat terjadi keruntuhan inti. Pada saat itulah ledakan supernova terjadi.
Di galaksi Bima Sakti, ada bintang bernama Eta Carinae yang massanya 100 massa Matahari. Eta Carinae diperkirakan mengalami kehilangan selubung hidrogennya saat ia meledak sebagai supernova. Nah, dalam penelitian tampaknya identifikasi awal menunjukan pada sebagian kasus, bintang masif akan meledak sebelum selubung hidrogen terlepas. Dengan demikian bisa dikatakan kalau evolusi inti dan evolusi selubung  tidak selamanya harus terjadi seiring, seperti yang diperkirakan selama ini. Penemuan tersebut memberi pemahaman baru untuk merevisi teori evolusi yang sudah ada.
Kemungkinan lain yang dihadirkan adalah, SN 2005gl pada awalnya merupakan sepasang bintang yang kemudian bergabung. Jika ini terjadi maka di dalam bintang baru tersebut terjadi penimbunan reaksi nuklir yang membuat bintang terlihat makin terang namun sepertinya kurang berevolusi dibanding kondisi sebenarnya. Jika ini yang terjadi, muncul pertanyaan lain apakah ada mekanisme lain yang bisa memicu terjadinya ledakan supernova? Menurut Avishay Gal-Yam dari Weizmann Institute of Science, Rehovot, Israel, bisa jadi ada pemahaman dasar tentang bintang super cerlang melalui kehilangan massanya yang luput dari perhatian para peneliti.
Hasil pengamatan teleskop Hubble hanya mengungkap sebagian kecil dari massa bintang yang terlepas saat terjadi ledakan. Sebagian besar materi lainnya diperkirakan tertarik masuk ke dalam inti yang runtuh yang kemudian menjadi lubang hitam dengan estimasi massa sekitar 10-15 massa matahari.